Pelajaran 120 menit Lampu Merah Bekasi

Hari itu saya baru pulang dari sekolah saya di daerah Bekasi. Jam menunjukan pukul satu siang ketika saya selesai sekolah dan belajar Bahasa Indonesia sebagai pelajaran terakhir di sekolah saya tersebut. Perut saya mulai memanggil nama kawan-kawan dekatnya untuk segera datang menghampirinya. Saya pun memutuskan untuk makan di salah satu restoran padang faforit saya. Saya memesan menu nasi hangat dengan ayam pop yang dilengkapi dengan daun singkong rebus dan sambalnya yang khas. Hmmm.. nikmat sekali..

Keluar dari rumah makan yang ber-AC, saya segera disambut panas matahari yang begitu menyengat. Serasa ada 12 matahari yang nongol bareng-bareng diatas kepala saya. Saya pun segera meminta mang pepen supir saya untuk menyalakan AC mobil pada ukuran maksimal alias coolest. Tetapi tetap saja AC tersebut tidak cukup memberi kesejukan saperti biasanya. Mulai terlintas berbagai pikiran menggerutu tentang panasnya cuaca saat itu. "Duh Tuhan, matahari kok rajin banget nongol sih akhir-akhir ini", gumam saya dalam hati. Enaknya siang-siang gini tidur sambil nyalain AC kamar sendiri. Tetapi apa daya, saya harus tetap berangkat les, demi masa depan dan cita-cita yang gemilang. Cie....

Mobil kami akhirnya terhenti di perempatan lampu merah jalan Kalimalang Bekasi yang ramai. Lampu merah sedang menyala dan berhitung mundur 120 menit. Saya mengamati lingkungan sekitar, ada banyak sekali pedagang, pengamen, dan pengemis yang segera menghampiri mobil-mobil yang sedang berhenti. Ada pedagang yang menjajakan lem super dengan harga 5 ribu rupiah, ada pula yang menjajakan korek api gas dengan ukuran jumbo. "Gile, ini korek api atau penghapus papan tulis", celetuk saya.

Waktu terus berlalu dan hampir 60 detik lagi segera menuju angka nol, tiba-tiba mata saya tertuju pada seorang ibu tua dari arah sebelah kiri depan. Ia menjajakan sapu lidi kecil yang biasa dipakai untuk membersihkan tempat tidur. Wah kebetulan saya memang sedang mencari sapu lidi seperti itu untuk prakarya kesenian di sekolah.

Ia menghampiri setiap kaca mobil untuk menawarkan barang dagangannya. Dari kejauhan saya dapat melihat dengan jelas, ibu ini tidak memiliki tangan kiri, tangan kanannya pun tidak sempurna. Umurnya mungkin 60 tahunan. Ia menyangga 3 buah sapu lidi dengan leher dan bahu kirinya. Dagunya menahan sapu itu agar tidak jatuh. Dari sorot matanya yang sayu dan dahinya yang berkerut, terlihat ia sangat kepanasan dan kehausan. Kulitnya pun sudah kehitaman karena seringnya ia tertimpa matahari matahari langsung di jalanan. Saya segera membuka kaca jendela kiri saya dan bertanya berapa harganya. Dia menawarkan harga 10 ribu jika saya mau membeli semua sapunya. "Saya hanya cuma butuh satu saja bu, 5 ribu satu ya bu", pinta saya kepada ibu itu. Ia pun tersenyum dan memberikan satu sapunya kepada saya. "Terima kasih ya nak, semoga berkah", ujar ibu itu kepada saya.

Lampu merah segera berganti kuning, dan saya dengan segera menyerahkan uang 5 ribu kepada ibu itu dan menanjutkan perjalanan. Tiba-tiba Tuhan berbicara lembut dalam hati saya, "Lihat anakKu, ibu ini punya kekurangan dalam pada tubuhnya, tetapi ia masih mau bekerjakeras. Kecacatannya tidak membuat ia menyerah dan menjadikannya seorang pemalas dan pengeluh. Sepuluh ribu untuk tiga buah sapu, mungkin hanya sejumlah ini yang ia dapatkan dalam sehari, bahkan tidak menutup kemungkinan ia tidak berhasil menjual satu sapu pun di hari yang lain".

Saat itu juga, tiba-tiba saja air mata mengalir dengan deras dari kedua mata saya. Hati saya merasa tertampar mendengar perkataan itu. Bagi kita, uang sepuluh ribu rupiah hanya cukup untuk membeli semangkuk bakso. Tetapi bagi orang lain, mungkin itulah penghasilan mereka sehari yang harus dibagikan untuk anak dan keluarga mereka. Secangkir chocolate yang kita beli di coffee shop saja minimal harganya 20 ribuan. Bagi orang lain, uang sejumlah itu bisa menghidupi keluarga mereka beberapa hari.

Begitu seringnya saya merasa malas untuk belajar dan mengerjakan tugas, padahal saya memiliki banyak fasilitas yang sangat baik untuk belajar. Saya tidak perlu kepanasan dan kehujanan ketika berangkat dan pulang sekolah, saya tidak perlu kehausan, kelaparan dan berada di jalanan yang panas sepanjang hari untuk hidup. Begitu seringnya saya merasa tidak memiliki apa-apa, padahal saya tidak pernah kekurangan satu hal pun. Begitu banyak yang saya miliki untuk saya syukuri, tetapi seringkali saya terlalu melihat keatas dan membandingkan diri saya dengan anak-anak yang jauh lebih kaya dari orang tua saya. Tubuh saya lengkap, tetapi saya seringkali merasa menjadi orang paling jelek sedunia ketika muncul satu jerawat di wajah saya. Padahal diluar sana banyak sekali orang cacat yang untuk makan saja, mereka membutuhkan bantuan orang lain.

Begitu banyaknya hal yang yang seharusnya kita syukuri dalam hidup kita. Seringkali kita melupakan semua kebaikan Tuhan dan malah lebih sering mengeluhkan kekurangan-kekurangan dalam hidup kita. Hari itu, selama 120 menit di perempatan lampu merah bekasi, saya mendapat pelajaran berharga dari seorang ibu penjual sapu lidi : saya TIDAK BOLEH mengeluh dan menyerah. Saya harus bisa bersyukur dengan apa yang ada pada saya. Seharusnya kita bisa berbuat sesuatu bagi mereka. Kita bisa berbagi hidup dengan orang-orang lain yang kekurangan. Hidup kita tidak akan pernah merasa cukup jika kita terus-menerus hanya mencari kepuasan untuk diri sendiri saja.


Modifikasi Artikel dari :
Sugandi. Majalah Salvation Edisi Maret 2010.

Sumber Gambar :
http://rahmanjakarta.files.wordpress.com/2009/04/lampu-merah.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdmjKU9031OKP7-uxhb5yPayYpCAn0939JRtzlWpJpdjcc51qobKeQpzdhnHaZRnG0O-kILEseFzDZCQnTZq99jRgAixgB36FD_f6pb07Nu3sPVk8c-8pAvzYRC5Vy4-IDMbRpDIOjx85x/s320/Sapu+Lidi+Pekalongan2.jpg





Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More